1. Sistem politik di Indonesia dan perkembangannya pada masa orde lama, orde baru, dan masa reformasi
Sistem politik di Indonesia
Indonesia memiliki sistem politik demokrasi, tetapi yang
diterapkan tidak
seperti negara lain yang menggunakan sistem demokrasi,
melainkan demokrasi
yang sesuai dengan bangsa Indonesia, yaitu Demokrasi
Pancasila. Menurut Dardji
Darmadiharjo, Demokrasi Pancasila merupakan paham demokrasi
yang bersumber
pada kepribadian dan falsafah hidup bangsa Indonesia yang
perwujudannya
tercantum dalam Pembukaan UUD 1945.
a. Perkembangan sistem politik di Indonesia
Sistem politik demokrasi di Indonesia mengalami pasang
runtuh sejak
berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia. Sistem
politik Indonesia
telah mengalami perubahan-perubahan, baik sebelum amendemen
UUD 1945
maupun sesudah adanya amendemen UUD 1945. Sejak merdeka,
perkembangan politik di Indonesia dapat disimpulkan sebagai
berikut.
1) Sistem politik Indonesia sebelum Amendemen UUD 1945
Perkembangan politik dan sistem politik suatu negara dapat
disimpulkan,
salah satunya, dari perkembangan partai-partai politiknya.
Perkembangan
partai politik di Indonesia dimulai sejak zaman Belanda. Ini
menjadi
manifestasi bangkitnya kesadaran nasional. Pola kepartaian
pada masa itu
menunjukkan keanekaragaman, ada yang bertujuan sosial (Budi
Utomo dan
Muhammadiyah), ada yang menganut asas politik berdasarkan
agama, seperti
Masyumi, Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII), Partai
Katolik, dan Partai
Kristen Indonesia (Parkindo), dan ada juga partai-partai
yang mendasarkan
diri pada suatu ideologi tertentu, seperti Partai Nasional
Indonesia (PNI)
yang berasaskan nasionalisme dan Partai Komunis Indonesia
(PKI) yang
berasaskan komunisme. Di masa penjajahan Jepang, kegiatan
partai politik
tidak diperbolehkan, kecuali pembentuk partai golongan Islam
(Masyumi).
Menurut Mohammad Mahfud M.D. dalam bukunya Hukum dan Pilar-
Pilar Demokrasi perkembangan politik di Indonesia setelah
kemerdekaan
dapat diklasifikasikan ke dalam tiga periode.
a) Periode Demokrasi Liberal (1945–1959)
Masa ini ditandai dengan adanya kebebasan untuk mendirikan partai politik.
Peranan partai-partai politik sangat dominan dalam menentukan arah tujuan negara
melalui badan perwakilan. Masa ini berakhir dengan dikeluarkannya Dekrit Presiden 5
Juli 1959. Indikator demokrasi liberal di Indonesia pada masa itu sebagai berikut.
(1) Partai-partai politik sangat dominan menentukan arah bagi perjalanan negara melalui badan perwakilan.
(2) Eksekutif berada pada posisi yang lemah karena sering jatuh bangun akibat adanya mosi partai.
(3) Adanya kebebasan pers yang relatif cukup baik, bahkan
pada periode ini peraturan sensor dan pembredelan yang diberlakukan sejak
zaman Belanda dicabut.
b) Periode Demokrasi Terpimpin (1959–1966)
Masa ini ditandai dengan adanya persaingan (rivalitas) tiga
kutub, yaitu antara Soekarno (Presiden RI) yang didukung oleh
partai-partai berhaluan nasionalis, PKI yang didukung oleh partai-partai
berhaluan sosialis, dan pihak militer yang dimotori oleh TNI AD. Saat
itu, partai
politik memiliki posisi tawar (bargaining position) yang
lemah sehingga kurang menunjukkan aset yang berarti dalam pencaturan
politik di Indonesia. Puncak periode ini adalah terjadinya
Pemberontakan G-30-S/PKI tanggal 30 September 1965. Indikator Demokrasi
Terpimpin saat
itu adalah :
(1) partai-partai politik sangat lemah, kekuatan politik
ditandai dengan
adanya tarik tambang antara Presiden, Angkatan Darat, dan
PKI;
(2) kedudukan (posisi) badan eksekutif yang dipimpin oleh
presiden
sangat kuat, Presiden merangkap sebagai Ketua DPA yang dalam
praktiknya menjadi pembuat dan selektor produk legislatif;
(3) kebebasan pers sangat terkekang, bahkan terjadi suatu
tindakan
antipers yang jumlahnya sangat spektakuler.
c) Periode Orde Baru (1966–1998)
Inilah masa pemerintahan Soeharto (Presiden RI yang kedua)
yang
melakukan “pembenahan” dalam sistem politik, antara lain,
mengenai
jumlah partai politik, yaitu melalui penyederhanaan partai
politik (fusi)
menjadi tiga, yaitu
(1) PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang berdasarkan
ideologi
Islam, merupakan fusi dari partai-partai NU, Parmusi, PSII,
dan
Partai Islam.
(2) Golkar (Golongan Karya) yang berdasarkan asas kekaryaan
dan
keadilan sosial.
(3) PDI (Partai Demokrasi Indonesia) yang berdasarkan
demokrasi,
nasionalisme, dan keadilan, merupakan fusi dari Parkindo,
Partai
Katolik, PNI, dan Murba.
Dengan demikian, kedudukan partai politik lemah karena
adanya
kontrol yang ketat dari lembaga eksekutif. Hal ini berdampak
pada
lembaga perwakilan yang penuh dengan intervensi dari
kekuasaan
eksekutif. Indikator sistem politik Orde Baru sebagai
berikut.
(1) Partai politik lemah karena adanya kontrol yang ketat
oleh eksekutif
dan lembaga perwakilan penuh dengan intervensi tangan-tangan
eksekutif.
(2) Kedudukan eksekutif (pemerintahan Soeharto) sangat kuat,
mengintervensi kehidupan partai-partai politik, serta
menentukan
spektrum politik nasional.
(3) Kebebasan pers terkekang dengan adanya lembaga SIT yang
selanjutnya diganti dengan SIUPP.
Terlepas dari pasang surutnya peran partai politik dalam
menentukan
perkembangan sistem politik Indonesia, Sistem Politik
Demokrasi Pancasila
yang dikehendaki UUD 1945 sebelum terjadi amendemen sebagai
berikut.
a) Bentuk negara adalah kesatuan dan bentuk pemerintahan
republik.
b) MPR (Majelis Permusyawaratan Rakyat) merupakan lembaga
tertinggi
negara yang memiliki wewenang dan tugas menjalankan
kedaulatan
rakyat, menetapkan UUD, memilih Presiden dan Wakil Presiden,
dan
mengadakan sidang istimewa untuk meminta pertanggungjawaban
Presiden bila Presiden melanggar UUD.
c) DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) merupakan lembaga tinggi
negara
yang bertugas menetapkan UU, menetapkan Anggaran Pendapatan
dan
Belanja Negara (APBN), dan memberikan persetujuan kepada
Presiden
atas pernyataan perang, membuat perdamaian, dan perjanjian
dengan
negara lain.
d) Presiden merupakan lembaga tinggi negara yang
berkedudukan sebagai
kepala negara dan kepala pemerintahan. Wewenang dan tugas
presiden
adalah menetapkan peraturan pemerintah; mensahkan atau
menolak
untuk mengesahkan RUU yang telah disetujui oleh DPR;
mencabut
peraturan pemerintah yang tidak disetujui oleh DPR;
menyatakan perang
dan membuat perdamaian dengan negara lain dengan persetujuan
DPR;
mengangkat duta dan konsul; memberi grasi, amnesti, abolisi,
dan
rehabilitasi; serta mengangkat menteri-menteri.
e) DPA (Dewan Pertimbangan Agung) merupakan lembaga tinggi
negara
yang memiliki kewajiban untuk memberi jawaban atas
pertanyaan
Presiden dan memiliki hak untuk mengajukan usul kepada
pemerintah.
Usul atau nasihat DPA hanya mengikat Presiden secara moral
dan tidak
secara konstitusional, oleh sebab itu, nasihat atau usul
tersebut boleh
diperhatikan dan dijalankan ataupun sebaliknya. Karena tidak
memiliki
hak memaksa, kedudukan DPA lemah.
f) BPK (Badan Pemeriksaan Keuangan) merupakan lembaga tinggi
negara
yang berperan atau bertugas memeriksa jalannya keuangan
negara. BPK
merupakan lembaga negara yang memiliki kekuasaan terlepas
dari
pengaruh pemerintah, namun tidak berarti kedudukan BPK di
atas
pemerintah.
g) MA (Mahkamah Agung) merupakan lembaga tinggi negara dan
memegang kekuasan yudikatif. MA dan badan peradilan di
bawahnya
memegang kekuasaan kehakiman yang merdeka, terlepas dari
pengaruh
kekuasaan pemerintah.
2) Sistem politik Indonesia setelah Amandemen UUD 1945
Sistem politik hasil amandemen UUD 1945 tidak mengenal
adanya
lembaga tertinggi negara. Semua lembaga berada pada posisi
yang sebanding.
Selain itu, ada lembaga negara yang dihapuskan, yaitu DPA
(Dewan
Pertimbangan Agung), dan ada pula beberapa lembaga negara
yang baru,
yaitu DPD (Dewan Perwakilan Daerah), MK (Mahkamah
Konstitusi), dan
KY (Komisi Yudisial). Sistem politik setelah Amendemen UUD
1945 sebagai
berikut.
a) Bentuk negara adalah kesatuan dan bentuk pemerintah
adalah republik
yang terdiri dari 33 provinsi dengan asas desentralisasi
sehingga terdapat
pemerintahan daerah dan pemerintahan pusat.
b) Parlemen terdiri dari dua kamar (sistem bikameral), yaitu
Dewan
Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah. Anggota DPR
dipilih
oleh rakyat melalui pemilu dan merupakan perwakilan dari
rakyat,
sedangkan anggota DPD adalah perwakilan provinsi yang
anggotanya
dipilih oleh rakyat di daerah yang bersangkutan melalui
pemilu. Masa
jabatannya adalah lima tahun. DPR memiliki kekuasaan membuat
undang-undang, menetapkan APBN, dan mengawasi jalannya
pemerintahan.
c) Majelis Permusyawaratan Rakyat adalah lembaga negara yang
berwenang melantik Presiden dan Wakil Presiden,
memberhentikan
presiden dan wakil presiden, serta mengubah dan menetapkan
UUD.
Anggota MPR adalah anggota DPR dan anggota DPD yang memiliki
masa jabatan lima tahun.
d) Eksekutif dipegang dan dijalankan oleh Presiden yang
berkedudukan
sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan. Presiden dan
Wakil
Presiden dipilih secara langsung oleh rakyat melalui pemilu
untuk masa
jabatan lima tahun dan dapat dipilih kembali satu kali dalam
jabatan yang
sama. Presiden sebagai kepala pemerintahan membentuk kabinet
yang
terdiri dari menteri-menteri. Menteri-menteri bertanggung
jawab kepada
presiden. Presiden tidak dapat membubarkan parlemen dan
tidak
bertanggung jawab kepada parlemen.
e) Kekuasaan yudikatif dipegang dan dijalankan oleh Mahkamah
Agung
dan badan peradilan di bawahnya bersama Mahkamah Konstitusi.
Adapun Komisi Yudisial berwenang memberikan usulan mengenai
pengangkatan Hakim Agung.
f) Pemilu diselenggarakan untuk memilih anggota DPR dan DPD,
juga
memilih Presiden dan Wakil Presiden dalam satu paket.
g) Sistem kepartaian adalah multipartai. Jumlah partai yang
mengikuti
Pemilu pada tahun 2004 adalah 24 partai dan pada tahun 2009
adalah 34
partai politik.
h) BPK merupakan badan yang memiliki kekuasaan untuk
memeriksa
pengelolaan dan tanggung jawab tentang keuangan negara.
Hasil
pemeriksaan diserahkan kepada DPR. Anggota BPK (Badan
Pemeriksa
Keuangan) dipilih oleh DPR dengan memerhatikan pertimbangan
dari
DPD dan selanjutnya diresmikan oleh Presiden.
i) Pada pemerintahan daerah, yaitu provinsi dan
kabupaten/kota dibentuk
pula badan/lembaga legislatif, eksekutif, dan yudikatif.
(1) Kekuasaan legislatif dijalankan oleh DPRD Provinsi di
wilayah
provinsi dan DPRD Kabupaten/Kota di wilayah kabupaten/kota.
Anggotanya dipilih langsung oleh rakyat melalui Pemilu.
(2) Kekuasaan eksekutif pada provinsi dipegang oleh
gubernur, sedang
pada daerah kabupaten/kota dipegang oleh bupati/wali kota
yang
semuanya dipilih langsung oleh rakyat di daerah
masing-masing
melalui Pemilu.
(3) Kekuasaan yudikatif pada provinsi dijalankan oleh
pengadilan tinggi
dan untuk kabupaten/kota dijalankan oleh pengadilan negeri.
Adapun perkembangan partai politik yang mengikuti perubahan
sistem
politik pada masa ini ditandai dengan adanya gerakan
reformasi sehingga
disebut Era Reformasi. Era ini berawal pada tahun 1998,
yaitu masa setelah
jatuhnya pemerintahan Orde Baru. Reformasi membawa perubahan
dalam
sistem politik, dengan demikian juga terdapat perubahan
dalam kedudukan
partai politik. Partai politik diberi kesempatan untuk hidup
kembali serta
mengikuti pemilu yang pertama setelah masa orde baru, yaitu
pada tahun
1999 dengan diikuti oleh banyak partai politik.
Sistem Politik Pada Era Reformasi
Sistem politik pada era reformasi biasa diuraikan sebagai
berikut :
Penyaluran tuntutan –
tinggi dan terpenuhi
Pemeliharaan nilai – Penghormatan HAM tinggi
Kapabilitas –disesuaikan dengan Otonomi daerah
Integrasi vertikal –
dua arah, atas bawah dan bawah atas
Integrasi horizontal
– nampak, muncul kebebasan (euforia)
Gaya politik –
pragmatic
Kepemimpinan – sipil,
purnawiranan, politisi
Partisipasi massa –
tinggi
Keterlibatan militer – dibatasi
Aparat negara – harus
loyal kepada negara bukan pemerintah
Stabilitas – instabil
Era Reformasi atau Era Pasca Soeharto di Indonesia
disebabkan karena tumbangnya orde baru sehingga membuka peluang terjadinya
reformasi politik di Indonesia pada pertengahan 1998, tepatnya saat Presiden
Soeharto mengundurkan diri pada 21 Mei 1998 karena adanya wacana suksesi yang
sengaja dibuat oleh Amien Rais untuk menjatuhkan rezim Soeharto dimana
didalamnya terdapat tuntutan untuk melakukan reformasi dan juga desakan dari
parlemen beserta mendurnya beberapa menteri dari kabinet saat itu. sehingga
bangsa Indonesia bersepakat untuk sekali lagi melakukan demokratisasi, yakni
proses pendemokrasian sistem politik Indonesia dimana kebebasan rakyat
terbentuk, kedaulatan rakyat dapat ditegakkan, dan pengawasan terhadap lembaga
eksekutif dapat dilakukan oleh lembaga wakil rakyat (DPR).
Setelah Soeharto mundur maka BJ. Habibie kemudian dilantik
sebagai presiden menggantikan presiden Soeharto dan segera membentuk sebuah
kabinet. Salah satu hal yang dilakukan oleh Habiebie saat itu adalah
mepersiapkan pemilu dan melakukan beberapa langkah penting dalam demokratisasi,
seperti : mengesahkan UU partai politik, UU susunan dan kedudukan MPR, DPR, dan
DPRD. Dan hal yang dilakukan oleh Presiden Habibie yang lain adalah
pengahapusan dwifungsi ABRI sehingga fungsi sosial-politik ABRI dihilangkan.
Demokrasi di masa pemerintahan BJ. Habibie amat sangat
terbuka luas, namun demokrasi yang ditawarkan oleh presiden Habibie ini membuat
masyarakat Indonesia bebas untuk melakukan apapun dalam halnya berbicara,
bertindak dan melakukan kreativitas yang menunjang untuk dirinya sendiri,
masyarakat serta bangsa dan negara. Sehingga masyarakat Timor Leste seakan
mendapatkan kebebasan untuk memerdekakan tanah mereka yang selama ini hanya
dimanfaatkan oleh Soeharto dalam masa orde baru. Hal ini dikarenakan pada masa
orde baru tidak melakukan pembangunan apapun di tanah Timor Leste setelah hasil
kekayaan mereka dimanfaatkan oleh pusat sehingga memunculkan rasa ketidakadilan
masyarakat Timor Leste.
Penyebab ini yang akhirnya mengakibatkan rakyat Timor Leste
menginginkan untuk lepas dari NKRI. B.J Habibie selaku kepala negara saat itu
mengadakan jajak pendapat untuk kebaikan kedua belah pihak. Timor Leste
akhirnya lepas dari pangkuan ibu pertiwi. dan Seharusnya Pemeritah melakukan
terlebih dahulu Pembangunan nilai demokrasi yang diawali dari pemerintahan saat
itu guna menjaga dan mensosialisasikan nilai demokrasi sebenarnya dan
menggunakannya dengan benar.
Setelah masa
Pemerintahan dari Bj.Habibie maka masuklah pasangan Terpilih duet Abdurrahman
Wahid-Megawati secara legalitas formal telah lahir periode baru dalam sejarah
perjalanan bangsa Indonesia. Era Orde Baru telah dinyatakan berakhir dan
digantikan Orde Reformasi. Hadirnya Orde Reformasi seperti halnya awal-awal
kebangkitan Orde Lama dan Orde Baru rakyat menaruh harapan besar bahwa Orde
Reformasi dapat mewujudkan masyarakat adil dan makmur.
Pasangan Gus Dur-Megawati sebenarnya dinilai ideal dilihat
dari aspek wawasan. Gus Dur adalah seorang santri tradisional yang memiliki
wawasan kebangsaan yang tidak diragukan, sementara Megawati adalah seorang
nasionalis yang juga memiliki wawasan Islam modern. Duet Gus Dur-Megawati lalu
membentuk Kabinet Persatuan Nasional yang dilantik tanggal 28 Oktober 1999.
Terlepas dari adanya kekecewaan karena dihapuskannya Departemen Penerangan dan
Departemen Sosial, cabinet ini mendapat dukungan dari berbagai kalangan.
Dalam menjalankan pemerintahan, Abdurrahman Wahid mangalami
banyak persoalan pada masa Orde Baru. Persoalan yang sangat menonjol adalah
masalah korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN), pemulihan ekonomi, masalah BPPN,
kinerja BUMN, pengendalian inflasi, mempertahankan kurs rupiah, masalah
jarinagn pengaman social (JPS), munculnya masalah disintegrasikan, konflik
etnis dasar umat beragama, penegakan hokum dan penegakan hak asasi manusia
(HAM).
Belum genap 100 hari berkuasa dan belum tuntasnya
penyelesaian persoalan-persoalan peninggalan Orde Baru, pemerintahan Gus Dur
dihadapan pada persoalan-persoalan kebijakannya yang dinilai banyak kalangan
sangat controversial. Kebijakannya antara lain:
1. Pencopotan
Kapolri Jendral Pol. Roesmanhadi yang dianggap sebagai orangnya Habibie.
2. Pencopotan
Kapuspen Hankam Mayjen TNI Sudrajat yang dilatari oleh pernyataannya bahwa
Presiden bukan Pangganti TNI. Penggantinya adalah Marsekal Muda TNI Graito.
Penggantian ini cukup mengagetkan karena diambilkan dari TNI AU, yang selama 32
tahun terakhir tidak pernah mndapatkan jabatan strategis di jajaran TNI.
3. Pencopotan
Wiranto sebagai Menko Polkan dilatarbelakangi oleh hubungan yang tidak harmonis
antara Wiranto dan Gus Dur arena Gus Dur mengijinkan dibentuknya Komisi
Penyelidik Penyelanggara (KPP) HAM di Timor Timur
4. Mengeluarkan
pengumuman tantang adanya menteri-menteri Kabinet Persatuan Nasional yang
terlibat KKN. Pengumuman ini sangat mempengaruhi kinerja kabinet. Tampak
beberapa menteri merasa sulit melakukan koordinasi di antaranya Laksamana
SDukardi dan Kwik Kian Gie. Mereka kesulitan melakukan koordinasi dengan
Memperindag Jusuf Kalla yang menghadapi tudingan KKN.
5. Gus Dur
menyetujui nama Papua sebagai ganti Irian Jaya pada akhir Desember 1999. Gus
Dur bahkan menyetujui pula pengibaran bendera Bintang Kejora sebagai bendera
Papua. Atas kebijakan yang menguntukan ini, Dewan Presidium Papua yang diketuai
oleh Theys Hiyo Eluay menyelenggarakan Kongres Rakyat Papua (Mei-Juni 2000)dan
menetapakn tanggal 1 Desember (hari berakhirnya pendudukan Belanda 1962)
menjadi hari kemerdekaan Papua Barat.
Selain penilaian
bahwa kebijakan Gus Dur Kontroversial, berkembang pula pendapat bahwa kebijakan
Gus Dur dianggap berjalan sendiri tanpa mau menaati aturan ketatanegaraan,
termasuk di dalamnya urusan protokoler. Segala persoalan diselesaikan Gus Dur
berdasarkan bisikan kerabat dekatnya, bukan menurut aturan konstitusi negara.
Dalam suasana sikap pro dan kontra masyarakat atas kepemimpinan Gus Dur, muncul
kasus Bruneigate. Meskipun tidak terbukti melalui pengadilan, skandal
Bruneigate mengakibatkan kredibilitas rakyat terhadap Gus Dur semakin turun
drastis. Ketua MPR, Amien Rais yang dulu sangat bersemangat mendukung Gus Dur
berbalik arah. Skandal Bruneigate dan pengangkatan wakil Kapolri, Kamjen (Pol)
Chaeruddin menjadi pemangku sementara jabatan kepala Polri tanpa persetujuan
DPR RI telah memicu konflik antara pihak eksekutif dan legislatif. Puncak
kekecewaan DPR terbukti dengan dikeluarkannya Memorandum I buat Presiden Gus
Dur pada tanggal 1 Februari 2001 yang disusul Memorandum II pada tanggal 30
April 2001. Presiden Gus Dur memang terkenal dengan sikapnya yang
controversial, bukan dating memberi laporan pertanggungjawaban , melainkan pada
pukul 01.05 WIB mengeluarkan Maklumat Presiden yang isinya antara lain
membekukan lembaga MPR dan DPR.
Pada saat yang sama MPR melalui ketua Amien Rais secara
tegas menolak dekrit yang dibuat Presiden Gus Dur. Langkah yang diambil Gus Dur
menjadikan dirinya semakin tidak popular dan mempercepat proses kejatuhannya
dari kursi kepresidenan. Apalagi ternyata dekrit tersebut tidak mendapat
dukungan dari TNI dan Polri.
Puncak jatuhnya Gus Dur dari kursi kepresidenan terjadi
ketika MPR atas usulan DPR mempercepat Sidang Istimewa MPR. MPR menilai
Presiden Gus Dur telah melanggar Tap No. VII/MPR/2000, karena menetapkan Komjen
(Pol) Chaeruddin sebagai pemangku sementara jabatan Kapolri.
Kemudian Melalui Sidang Istimewa MPR pada 23 Juli 2001,
Megawati secara resmi diumumkan menjadi Presiden Indonesia ke-5. Meski ekonomi
Indonesia mengalami banyak perbaikan, seperti nilai mata tukar rupiah yang
lebih stabil, namun Indonesia pada masa pemerintahannya tetap tidak menunjukkan
perubahan yang berarti dalam bidang-bidang lain.
Popularitas Megawati yang awalnya tinggi di mata masyarakat
Indonesia, menurun seiring dengan waktu. Hal ini ditambah dengan sikapnya yang
jarang berkomunikasi dengan masyarakat sehingga mungkin membuatnya dianggap
sebagai pemimpin yang 'dingin'. Sejak kenaikan Megawati sebagai presiden,
aktivitas terorisme di Indonesia meningkat tajam, beberapa peledakan bom
terjadi yang menyebabkan sentimen negatif terhadap Indonesia dari kancah
internasional.
Setelah masa pemerintahan Megawati berakhir Indonesia
menyelenggarakan kembali pemilu presiden secara langsung pertamanya.
Megawati menyatakan pemerintahannya berhasil dalam
memulihkan ekonomi Indonesia, dan pada 2004, maju ke Pemilu 2004 dengan harapan
untuk terpilih kembali sebagai Presiden. Ujian berat dihadapi Megawati untuk
membuktikan bahwa dirinya masih bisa diterima mayoritas penduduk Indonesia.
Dalam kampanye, seorang calon dari partai baru bernama Partai Demokrat, Susilo
Bambang Yudhoyono, muncul sebagai saingan Megawati.
Partai Demokrat yang sebelumnya kurang dikenal, menarik
perhatian masyarakat dengan pimpinannya, Yudhoyono, yang karismatik dan
menjanjikan perubahan kepada Indonesia. Pemilihan putaran pertama menyisihkan
kandidat lainnya sehingga yang tersisa tinggal Megawati dan SBY. dan yang
memenangkan pemilu untuk periode 2004-2009 adalah SBY, kemudian untuk periode
2009- hingga sekarang pemerintahan juga masih dipegang oleh SBY dan partainya
Demokrat.
Konfigurasi Politik Era Orde Lama
Presiden Soekarno pada tanggal 5 Juli 1959 mengeluarkan
Dekrit Presiden yang isinya pembubaran konstituante, diundangkan dengan resmi
dalam Lembaran Negara tahun 1959 No. 75, Berita Negara 1959 No. 69 berintikan
penetapan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlakunya lagi UUDS 1950, dan
pembentukan MPRS dan DPAS. Salah satu dasar pertimbangan dikeluarkannya Dekrit
Presiden 5 Juli 1959 adalah gagalnya konstituante melaksanakan tugasnya.
Pada masa ini Soekarno memakai sistem demokrasi terpimpin.
Tindakan Soekarno mengeluarkan Dekrit pada tanggal 5 Juli 1959 dipersoalkan keabsahannya
dari sudut yuridis konstitusional, sebab menurut UUDS 1950 Presiden tidak
berwenang “memberlakukan” atau “tidak memberlakukan” sebuah UUD, seperti yang
dilakukan melalui dekrit. Sistem ini yang mengungkapkan struktur, fungsi dan
mekanisme, yang dilaksanakan ini berdasarkan pada sistem “Trial and Error” yang
perwujudannya senantiasa dipengaruhi bahkan diwarnai oleh berbagai paham
politik yang ada serta disesuaikan dengan situasi dan kondisi yang cepat
berkembang. Maka problema dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan
bernegara yang berkembang pada waktu itu bukan masalah-masalah yang bersifat
ideologis politik yang penuh dengan norma-norma ideal yang benar, tetapi
masalah-masalah praktis politik yang mengandung realitas-realitas objektif serta
mengandung pula kemungkinan-kemungkinan untuk dipecahkan secara baik, walaupun
secara normatif ideal kurang atau tidak benar. Bahkan kemudian muncul penamaan
sebagai suatu bentuk kualifikasi seperti “Demokrasi Terpimpin” dan “Demokrasi
Pancasila”.
Berbagai “Experiment” tersebut ternyata menimbulkan keadaan
“excessive” (berlebihan) baik dalam bentuk “Ultra Demokrasi” (berdemokrasi
secara berlebihan) seperti yang dialami antara tahun 1950-1959, maupun suatu
kediktatoran terselubung (verkapte diktatuur) dengan menggunakan nama demokrasi
yang dikualifikasi (gekwalificeerde democratie).
Sistem “Trial and Error” telah membuahkan sistem multi
ideologi dan multi partai politik yang pada akhirnya melahirkan multi
mayoritas, keadaan ini terus berlangsung hingga pecahnya pemberontakan DI/TII
yang berhaluan theokratisme Islam fundamental (1952-1962) dan kemudian Pemilu
1955 melahirkan empat partai besar yaitu PNI, NU, Masyumi dan PKI yang secara
perlahan terjadi pergeseran politik ke sistem catur mayoritas. Kenyataan ini
berlangsung selama 10 tahun dan terpaksa harus kita bayar tingggi berupa :
1) Gerakan
separatis pada tahun 1957
2) Konflik
ideologi yang tajam yaitu antara Pancasila dan ideologi Islam, sehingga terjadi
kemacetan total di bidang Dewan Konstituante pada tahun 1959.
Oleh karena konflik antara Pancasila dengan theokratis Islam
fundamentalis itu telah mengancam kelangsungan hidup Negara Pancasila 17
Agustus 1945, maka terjadilah Dekrit Presiden pada tanggal 5 Juli 1959 dengan
tujuan kembali ke UUD 1945 yang kemudian menjadi dialog Nasional yang seru
antara yang Pro dan yang Kontra. Yang Pro memandang dari kacamata politik,
sedangkan yang Kontra dari kacamata Yuridis Konstitusional.
Akhirnya memang masalah Dekrit Presiden tersebut dapat
diselesaikan oleh pemerintah Orde Baru, sehingga Dekrit Presiden 5 Juli 1959
kelak dijadikan salah satu sumber hukum dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara. Selanjutnya pada perang revolusi yang berlangsung
tahun 1960-1965, yang sebenarnya juga merupakan prolog dari pemberontakan
Gestapu/PKI pada tahun 1965, telah memberikan pelajaran-pelajaran politik yang
sangat berharga walau harus kita bayar dengan biaya tinggi.2.
Otonomi daerah (uu, pengertian, kelebihan dan kekurangan, keberhasilan otonomi daerah, dll)
UU otonomi daerah
UU otonomi daerah di Indonesia merupakan dasar hukum
pelaksanaan otonomi daerah di Indonesia. UU otonomi daerah di Indonesia
merupakan payung hukum terhadap seluruh peraturan perundang-undangan yang mengatur
mengenai pelaksanaan otonomi daerah di bawah UU otonomi daerah seperti,
Peraturan Pemerintah, Peraturan Daerah, Peraturan Bupati dan seterusnya.
UU otonomi daerah itu sendiri merupakan implementasi dari
ketentuan yang tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) yang
menyebutkan otonomi daerah sebagai bagian dari sistem tata negara Indonesia dan
pelaksanaan pemerintahan di Indonesia. Ketentuan mengenai pelaksanaan otonomi
daerah di Indonesia tercantum dalam pasal 18 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945
yang menyebutkan bahwa:
“Pemerintahan daerah propinsi, daerah kabupaten, dan kota
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan menurut asas otonomi dan
tugas pembantuan”.
Selanjutnya Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan
pembentukan UU Otonomi Daerah untuk mengatur mengenai susunan dan tata cara
penyelenggaraan pemerintahan daerah, sebagaimana disebutkan dalam Undang-Undang
Dasar 1945 Pasal 18 ayat (7), bahwa:
“Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan daerah
diatur dalam undang-undang”.
Ketentuan tersebut diatas menjadi payung hukum bagi
pembentukan UU otonomi daerah di Indonesia, sementara UU otonomi daerah menjadi
dasar bagi pembentukan peraturan lain yang tingkatannya berada di bawah
undang-undang menurut hirarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di
Indonesia.
Otonomi daerah di Indonesia dilaksanakan segera setelah
gerakan reformasi 1998. Tepatnya pada tahun 1999 UU otonomi daerah mulai
diberlakukan. Pada tahap awal pelaksanaannya, otonomi daerah di Indonesia mulai
diberlakukan berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan
Daerah. Setelah diberlakukannya UU ini, terjadi perubahan yang besar terhadap
struktur dan tata laksana pemerintahan di daerah-daerah di Indonesia.
Pengertian otonomi daerah
Pengertian Otonomi Daerah Menurut Para Ahli
Beberapa pengertian otonomi daerah menurut beberapa pakar,
antara lain:
Pengertian Otonomi Daerah menurut F. Sugeng Istianto,
adalah:
“Hak dan wewenang untuk mengatur dan mengurus rumah tangga
daerah”
Pengertian Otonomi Daerah menurut Ateng Syarifuddin, adalah:
“Otonomi mempunyai makna kebebasan atau kemandirian tetapi
bukan kemerdekaan melainkan kebebasan yang terbatas atau kemandirian itu
terwujud pemberian kesempatan yang harus dapat dipertanggungjawabkan”
Pengertian Otonomi Daerah menurut Syarif Saleh, adalah:
“Hak mengatur dan memerintah daerah sendiri dimana hak
tersebut merupakan hak yang diperoleh dari pemerintah pusat”
Selain pendapat pakar diatas, ada juga beberapa pendapat
lain yang memberikan pengertian yang berbeda mengenai otonomi daerah, antara
lain:
Pengertian otonomi daerah menurut Benyamin Hoesein, adalah:
“Pemerintahan oleh dan untuk rakyat di bagian wilayah
nasional suatu Negara secara informal berada di luar pemerintah pusat”
Pengertian otonomi daerah menurut Philip Mahwood, adalah:
“Suatu pemerintah daerah yang memiliki kewenangan sendiri
dimana keberadaannya terpisah dengan otoritas yang diserahkan oleh pemerintah
guna mengalokasikan sumber material yang bersifat substansial mengenai fungsi
yang berbeda”
Pengertian otonomi daerah menurut Mariun, adalah:
“Kebebasan (kewenangan) yang dimiliki oleh pemerintah daerah
yang memungkinkan meeka untuk membuat inisiatif sendiri dalam rangka mengelola
dan mengoptimalkan sumber daya yang dimiliki oleh daerahnya sendiri. Otonomi
daerah merupakan kebebasan untuk dapat berbuat sesuai dengan kebutuhan
masyarakat setempat”
Pengertian otonomi daerah menurut Vincent Lemius, adalah:
“Kebebasan (kewenangan) untuk mengambil atau membuat suatu
keputusan politik maupun administasi sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Di dalam otonomi daerah tedapat kebebasan yang dimiliki oleh
pemerintah daerah untuk menentukan apa yang menjadi kebutuhan daerah namun apa
yang menjadi kebutuhan daerah tersebut senantiasa harus disesuaikan dengan
kepentingan nasional sebagaimana yang telah diatur dalam peraturan
perundang-undangan yang lebih tinggi”
Kelebihan dan kekurangan
Beberapa keuntungan dengan menerapkan otonomi daerah dapat
dikemukakan sebagai berikut ini.
a. Mengurangi
bertumpuknya pekerjaan di pusat pemerintahan.
b. Dalam
menghadapi masalah yang amat mendesak yang membutuhkan tindakan yang cepat,
sehingga daerah tidak perlu menunggu intruksi dari Pemerintah pusat.
c. Dalam sistem
desentralisasi, dpat diadakan pembedaan (diferensial) dan pengkhususan
(spesialisasi) yang berguna bagi kepentingan tertentu. Khususnya desentralisasi
teretorial, dapat lebih muda menyesuaikan diri pada kebutuhan atau keperluan
khusu daerah.
d. Dengan adanya desentralisasi territorial, daerah otonomi
dapat merupakan semacam laboratorium dalam hal-hal yang berhubungan dengan
pemerintahan, yang dapat bermanfaat bagi seluruh negara. Hal-hal yang ternyata
baik, dapat diterapkan diseluruh wilayah negara, sedangkan yang kurang baik
dapat dibatasi pada suatu daerah tertentu saja dan oleh karena itu dapat lebih
muda untuk diadakan.
e. Mengurangi
kemungkinan kesewenang-wenangan dari Pemerintah Pusat.
f. Dari segi
psikolagis, desentralisasi dapat lebih memberikan kewenangan memutuskan yang
lebuh beser kepada daerah.
g. Akan
memperbaiki kualitas pelayanan karena dia lebih dekat dengan masyarakat yang
dilayani.
Di samping kebaikan tersebut di atas, otonomi daerah juga
mengandung kelemahan sebagaimana pendapat Josef Riwu Kaho (1997) antara lain
sebagai berikut ini.
a. Karena
besarnya organ-organ pemerintahan maka struktur pemerintahan bertambah
kompleks, yang mempersulit koordinasi.
b. Keseimbangan
dan keserasian antara bermacam-macam kepentingan dan daerah dapat lebih mudah
terganggu.
c. Khusus
mengenai desentralisasi teritorial, dapat mendorong timbulnya apa yang disebut daerahisme atau
provinsialisme.
d. Keputusan yang
diambil memerlukan waktu yang lama, karena memerlukan perundingan yang
bertele-tele.
e. Dalam
penyelenggaraan desentralisasi, diperlukan biaya yang lebih banyak dan sulit
untuk memperoleh keseragaman atau uniformitas dan kesederhanaan.
Keberhasilan otonomi daerah
Untuk mengetahui apakah suatu daerah otonom mampu mengatur
dan mengurus rumah tangganya sendiri, Syamsi (1986: 199) menegaskan beberapa
ukuran sebagai berikut:
Kemampuan struktural organisasi
Struktur organisasi pemerintah daerah harus mampu menampung
segala aktivitas dan tugas-tugas yang menjadi beban dan tanggung jawabnya,
jumlah dan ragam unit cukup mencerminkan kebutuhan, pembagian tugas, wewenang
dan tanggung jawab yang cukup jelas.
Kemampuan aparatur pemerintah daerah
Aparat pemerintah daerah harus mampu menjalankan tugasnya
dalam mengatur dan mengurus rumah tangga daerah. Keahlian, moral, disiplin dan
kejujuran saling menunjang tercapainya tujuan yang diinginkan.
Kemampuan mendorong partisipasi masyarakat
Pemerintah daerah harus mampu mendorong masyarakat agar
memiliki kemauan untuk berperan serta dalam kegiatan pembangunan.
Kemampuan keuangan daerah
Pemerintah daerah harus mampu membiayai kegiatan
pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan secara keseluruhan sebagai wujud
pelaksanaan, pengaturan dan pengurusan rumah tangganya sendiri. Sumber-sumber
dana antara lain berasal dari PAD atau sebagian dari subsidi pemerintah pusat.
Keberhasilan suatu daerah menjadi daerah otonomi dapat
dilihat dari beberapa hal yang mempengaruhi (Kaho, 1998), yaitu faktor manusia,
faktor keuangan, faktor peralatan, serta faktor organisasi dan manajerial.
Pertama, manusia adalah faktor yang esensial dalam penyelenggaraan pemerintah
daerah karena merupakan subyek dalam setiap aktivitas pemerintahan, serta
sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem pemerintahan. Kedua,
keuangan yang merupakan bahasan pada lingkup penulisan ini sebagai faktor
penting dalam melihat derajat kemandirian suatu daerah otonom untuk dapat
mengukur, mengurus dan membiayai urusan rumah tangganya. Ketiga, peralatan
adalah setiap benda atau alat yang dipergunakan untuk memperlancar kegiatan
pemerintah daerah. Keempat, untuk melaksanakan otonomi daerah dengan baik maka
diperlukan organisasi dan pola manajemen yang baik.
Kaho (1998) menegaskan bahwa faktor yang sangat berpengaruh
dalam pelaksanaan otonomi daerah ialah manusia sebagai pelaksana yang baik.
Manusia ialah faktor yang paling esensial dalam penyelenggaraan pemerintahan
daerah, sebagai pelaku dan penggerak proses mekanisme dalam sistem
pemerintahan. Agar mekanisme pemerintahan dapat berjalan dengan baik sesuai
dengan tujuan yang diharapkan, maka manusia atau subyek harus baik pula. Atau
dengan kata lain, mekanisme pemerintahan baik daerah maupun pusat hanya dapat
berjalan dengan baik dan dapat mencapai tujuan seperti yang diinginkan apabila
manusia sebagai subyek sudah baik pula.
Selanjutnya, faktor yang kedua ialah kemampuan keuangan
daerah yang dapat mendukung pembiayaan kegiatan pemerintahan, pembangunan dan
kemasyarakatan. Mamesah mengutip pendapat Manulang (1995: 23) yang menyebutkan
bahwa dalam kehidupan suatu negara, masalah keuangan negara sangat penting.
Semakin baik keuangan suatu negara, maka semakin stabil pula kedudukan
pemerintah dalam negara tersebut. Sebaliknya kalau kondisi keuangan negara
buruk, maka pemerintah akan menghadapi berbagai kesulitan dan rintangan dalam
menyelenggarakan segala kewajiban yang telah diberikan kepadanya.
Faktor ketiga ialah anggaran, sebagai alat utama pada
pengendalian keuangan daerah, sehingga rencana anggaran yang dihadapkan kepada
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) harus tepat dalam bentuk dan susunannya.
Anggaran berisi rancangan yang dibuat berdasarkan keahlian dengan pandangan ke
muka yang bijaksana, karena itu untuk menciptakan pemerintah daerah yang baik
untuk melaksanakan otonomi daerah, maka mutlak diperlukan anggaran yang baik
pula.
Faktor peralatan yang cukup dan memadai, yaitu setiap alat
yang dapat digunakan untuk memperlancar pekerjaan atau kegiatan pemerintah
daerah. Peralatan yang baik akan mempengaruhi kegiatan pemerintah daerah untuk
mencapai tujuannya, seperti alat-alat kantor, transportasi, alat komunikasi dan
lain-lain. Namun demikian, peralatan yang memadai tersebut tergantung pula pada
kondisi keuangan yang dimiliki daerah, serta kecakapan dari aparat yang
menggunakannya.
Faktor organisasi dan manajemen baik, yaitu organisasi yang
tergambar dalam struktur organisasi yang jelas berupa susunan satuan organisasi
beserta pejabat, tugas dan wewenang, serta hubungan satu sama lain dalam rangka
mencapai tujuan tertentu. Manajemen merupakan proses manusia yang menggerakkan
tindakan dalam usaha kerjasama, sehingga tujuan yang telah ditentukan dapat
dicapai. Mengenai arti penting dari manajemen terhadap penciptaan suatu
pemerintahan yang baik, mamesah (1995 : 34) mengatakan bahwa baik atau tidaknya
manajemen pemerintah daerah tergantung dari pimpinan daerah yang bersangkutan,
khususnya tergantung kepada Kepala Daerah yang bertindak sebagai manajer
daerah.