Assalamualaikum Warrahmatullahi Wabarakatuh, ketemu lagi
bersama saya sang pemilik blog hehe pada kesempatan kali ini saya akan
menuliskan mengenai suku saya yaitu Suku Sunda, dan juga sebagai tugas
penulisan untuk softskill Ilmu Budaya Dasar.
Suku Sunda adalah kelompok etnis yang berasal dari bagian
barat pulau Jawa, Indonesia, dengan istilah Tatar Pasundan yang mencakup
wilayah administrasi provinsi Jawa Barat, Banten, Jakarta, Lampung dan wilayah
barat Jawa Tengah (Banyumasan). Suku Sunda merupakan etnis kedua terbesar di
Indonesia. Sekurang-kurangnya 15,2% penduduk Indonesia merupakan orang Sunda.
Jika Suku Banten dikategorikan sebagai sub suku Sunda maka 17,8% penduduk
Indonesia merupakan orang Sunda. Mayoritas orang Sunda beragama Islam, akan
tetapi ada juga sebagian kecil yang beragama Kristen, Hindu, dan Sunda Wiwitan
(Jati Sunda). Agama Sunda Wiwitan masih bertahan di beberapa komunitas pedesaan
suku Sunda, seperti di Kuningan dan masyarakat suku Baduy di Lebak Banten yang
berkerabat dekat dan dapat dikategorikan sebagai suku Sunda.
Jati diri yang mempersatukan orang Sunda adalah bahasanya
dan budayanya. Orang Sunda dikenal memiliki sifat optimistis, ramah, sopan, dan
riang. Orang Portugis mencatat dalam Suma Oriental bahwa orang sunda bersifat
jujur dan pemberani. Orang sunda juga adalah yang pertama kali melakukan
hubungan diplomatik secara sejajar dengan bangsa lain. Sang Hyang Surawisesa
atau Raja Samian adalah raja pertama di Nusantara yang melakukan hubungan
diplomatik dengan Bangsa lain pada abad ke-15 dengan orang Portugis di Malaka.
Hasil dari diplomasinya dituangkan dalam Prasasti Perjanjian Sunda-Portugal.
Beberapa tokoh Sunda juga menjabat Menteri dan pernah menjadi wakil Presiden
pada kabinet RI.
Disamping prestasi dalam bidang politik (khususnya pada awal
masa kemerdekaan Indonesia) dan ekonomi, prestasi yang cukup membanggakan
adalah pada bidang budaya yaitu banyaknya penyanyi, musisi, aktor dan aktris
dari etnis Sunda, yang memiliki prestasi di tingkat nasional, maupun
internasional.
Pandangan Hidup
Selain agama yang dijadikan pandangan hidup, orang Sunda
juga mempunyai pandangan hidup yang diwariskan oleh nenek moyangnya. Pandangan
hidup tersebut tidak bertentangan dengan agama yang dianutnya karena secara
tersurat dan tersirat dikandung juga dalam ajaran agamanya, khususnya ajaran
agama Islam. Pandangan hidup orang Sunda yang diwariskan dari nenek moyangnya
dapat diamati pada ungkapan tradisional sebagai berikut:
"Hana nguni hana mangke, tan hana nguni tan hana
mangke, aya ma beuheula aya tu ayeuna, hanteu ma beuheula hanteu tu ayeuna.
Hana tunggak hana watang, tan hana tunggak tan hana watang. Hana ma tunggulna
aya tu catangna."
Artinya: Ada dahulu ada sekarang, bila tak ada dahulu tak akan
ada sekarang, karena ada masa silam maka ada masa kini, bila tak ada masa silam
takan ada masa kini. Ada tunggak tentu ada batang, bila tak ada tunggak tak
akan ada batang, bila ada tunggulnya tentu ada batangnya.
Ungkapan tradisional tersebut tidak jauh dengan amanat Bung
Karno dalam pidato HUT Proklamasi 1996: “Janganlah melihat ke masa depan dengan
mata buta! Masa yang lampau adalah berguna sekali untuk menjadi kaca bengala
dari pada masa yang akan datang.”
Bahasa
Dalam percakapan sehari-hari, etnis Sunda banyak menggunakan
bahasa Sunda. Namun kini telah banyak masyarakat Sunda terutama yang tinggal di
perkotaan tidak lagi menggunakan bahasa Sunda dalam bertutur kata. Seperti yang
terjadi di pusat-pusat keramaian kota Bandung, Bogor, dan Tangerang, dimana
banyak masyarakat yang tidak lagi menggunakan bahasa Sunda.
Ada beberapa dialek dalam bahasa Sunda, mulai dari dialek
Sunda-Banten, hingga dialek Sunda-Jawa Tengahan yang mulai tercampur bahasa
Jawa. Para pakar bahasa biasanya membedakan enam dialek berbeda. Dialek-dialek
ini adalah:
·
Dialek Barat (Bahasa Sunda Banten)
·
Dialek Utara
·
Dialek Selatan (Priangan)
·
Dialek Tengah Timur
·
Dialek Timur Laut (Bahasa Sunda Cirebon)
·
Dialek Tenggara
Dialek Barat dipertuturkan di daerah Banten dan Lampung.
Dialek Utara mencakup daerah Sunda utara termasuk kota Bogor dan beberapa
daerah Pantura. Lalu dialek Selatan adalah dialek Priangan yang mencakup kota
Bandung dan sekitarnya. Sementara itu dialek Tengah Timur adalah dialek di
Kabupaten Majalengka dan Indramayu. Dialek Timur Laut adalah dialek di sekitar
Cirebon dan Kuningan, juga di beberapa kecamatan di Kabupaten Brebes dan Tegal,
Jawa Tengah. Dan akhirnya dialek Tenggara adalah dialek sekitar Ciamis, juga di
beberapa kecamatan di Kabupaten Cilacap dan Banyumas, Jawa Tengah.
Kesenian
1.
Seni tari
Seni tari utama dalam Suku Sunda adalah tari jaipongan, tari
merak, dan tari topeng.
Tanah Sunda (Pasundan) dikenal memiliki aneka budaya yang
unik dan menarik, Jaipongan adalah salah satu seni budaya yang terkenal dari
daerah ini. Jaipongan atau Tari Jaipong sebetulnya merupakan tarian yang sudah
moderen karena merupakan modifikasi atau pengembangan dari tari tradisional
khas Sunda yaitu Ketuk Tilu. Tari Jaipong ini dibawakan dengan iringan musik
yang khas pula, yaitu degung. Musik ini merupakan kumpulan beragam alat musik
seperti gendang, gong, saron, kacapi, dsb. Degung bisa diibaratkan 'Orkestra'
dalam musik Eropa/Amerika. Ciri khas dari Tari Jaipong ini adalah musiknya yang
menghentak, dimana alat musik kendang terdengar paling menonjol selama
mengiringi tarian. Tarian ini biasanya dibawakan oleh seorang, berpasangan atau
berkelompok. Sebagai tarian yang menarik, Jaipong sering dipentaskan pada
acara-acara hiburan, selamatan atau pesta pernikahan.
2.
Wayang Golek
Tanah Sunda terkenal dengan kesenian Wayang Golek-nya.
Wayang Golek adalah pementasan sandiwara boneka yang terbuat dari kayu dan
dimainkan oleh seorang sutradara merangkap pengisi suara yang disebut Dalang.
Seorang Dalang memiliki keahlian dalam menirukan berbagai suara manusia.
Seperti halnya Jaipong, pementasan Wayang Golek diiringi musik Degung lengkap
dengan Sindennya. Wayang Golek biasanya dipentaskan pada acara hiburan, pesta
pernikahan atau acara lainnya. Waktu pementasannya pun unik, yaitu pada malam
hari (biasanya semalam suntuk) dimulai sekitar pukul 20.00 – 21.00 hingga pukul
04.00 pagi. Cerita yang dibawakan berkisar pada pergulatan antara kebaikan dan
kejahatan (tokoh baik melawan tokoh jahat). Cerita wayang yang populer saat ini
banyak diilhami oleh budaya Hindu dari India, seperti Ramayana atau Perang
Baratayudha. Tokoh-tokoh dalam cerita mengambil nama-nama dari tanah India.
Dalam Wayang Golek, ada ‘tokoh’ yang sangat dinantikan pementasannya yaitu
kelompok yang dinamakan Purnakawan, seperti Cepot, Dawala, dan Gareng.
Tokoh-tokoh ini digemari karena mereka merupakan tokoh yang selalu memerankan
peran lucu (seperti pelawak) dan sering memancing gelak tawa penonton. Seorang
Dalang yang pintar akan memainkan tokoh tersebut dengan variasi yang sangat
menarik.
3.
Seni musik
Selain seni tari, tanah Sunda juga terkenal dengan seni
suaranya. Dalam memainkan degung biasanya ada seorang penyanyi yang membawakan
lagu-lagu Sunda dengan nada dan alunan yang khas. Penyanyi ini biasanya seorang
wanita yang dinamakan sinden. Tidak sembarangan orang dapat menyanyikan lagu
yang dibawakan sinden karena nada dan ritmenya cukup sulit untuk ditiru dan
dipelajari. Di bawah ini merupakan beberapa lagu dari daerah Sunda:
·
Bubuy Bulan
·
Es Lilin
·
Manuk Dadali
·
Tokecang
·
Warung Pojok
Selain itu, ada alat musik khas Sunda di antaranya adalah:
·
Calung
·
Angklung
Rumah Adat
Secara tradisional rumah orang Sunda berbentuk panggung
dengan ketinggian 0,5 m - 0,8 m atau 1 meter di atas permukaan tanah. Pada
rumah-rumah yang sudah tua usianya, tinggi kolong ada yang mencapai 1,8 meter.
Kolong ini sendiri umumnya digunakan untuk tempat mengikat binatang-binatang
peliharaan seperti sapi, kuda, atau untuk menyimpan alat-alat pertanian seperti
cangkul, bajak, garu dan sebagainya. Untuk naik ke rumah disediakan tangga yang
disebut Golodog yang terbuat dari kayu atau bambu, yang biasanya terdiri tidak
lebih dari tiga anak tangga. Golodog berfungsi juga untuk membersihkan kaki
sebelum naik ke dalam rumah.
Rumah adat Sunda sebenarnya memiliki nama yang berbeda-beda
bergantung pada bentuk atap dan pintu rumahnya. Secara tradisional ada atap yang
bernama suhunan Jolopong, Tagong Anjing, Badak Heuay, Perahu Kemureb, Jubleg
Nangkub, Capit Gunting, dan Buka Pongpok. Dari kesemuanya itu, Jolopong adalah
bentuk yang paling sederhana dan banyak dijumpai di daerah-daerah cagar budaya
atau di desa-desa.
Jolopong memiliki dua bidang atap yang dipisahkan oleh jalur
suhunan di tengah bangunan rumah. Batang suhunan sama panjangnya dan sejajar
dengan kedua sisi bawah bidang atap yang sebelah menyebelah, sedangkan lainnya
lebih pendek dibanding dengan suhunan dan memotong tegak lurus di kedua ujung
suhunan itu.
Interior yang dimiliki Jolopong pun sangat efisien. Ruang
Jolopong terdiri atas ruang depan yang disebut emper atau tepas; ruangan tengah
disebut tengah imah atau patengahan; ruangan samping disebut pangkeng (kamar);
dan ruangan belakang yang terdiri atas dapur yang disebut pawon dan tempat
menyimpan beras yang disebut padaringan. Ruangan yang disebut emper berfungsi
untuk menerima tamu. Dulu, ruangan ini dibiarkan kosong tanpa perkakas atau
perabot rumah tangga seperti meja, kursi, ataupun bale-bale tempat duduk. Jika
tamu datang barulah yang empunya rumah menggelarkan tikar untuk duduk tamu.
Seiring waktu, kini sudah disediakan meja dan kursi bahkan peralatan lainnya.
Ruang balandongan berfungsi untuk menambah kesejukan bagi penghuni rumah. Untuk
ruang tidur, digunakan Pangkeng. Ruangan sejenis pangkeng ialah jobong atau
gudang yang digunakan untuk menyimpan barang atau alat-alat rumah tangga.
Ruangan tengah digunakan sebagai tempat berkumpulnya keluarga dan sering
digunakan untuk melaksanakan upacara atau selamatan dan ruang belakang (dapur)
digunakan untuk memasak.
Ditilik dari segi filosofis, rumah tradisional milik
masyarakat Jawa Barat ini memiliki pemahaman yang sangat mengagumkan. Secara
umum, nama suhunan rumah adat orang Sunda ditujukan untuk menghormati alam
sekelilingnya. Hampir di setiap bangunan rumah adat Sunda sangat jarang
ditemukan paku besi maupun alat bangunan modern lainnya. Untuk penguat antar
tiang digunakan paseuk (dari bambu) atau tali dari ijuk ataupun sabut kelapa,
sedangkan bagian atap sebagai penutup rumah menggunakan ijuk, daun kelapa, atau
daun rumia, karena rumah adat Sunda sangat jarang menggunakan genting. Hal
menarik lainnya adalah mengenai material yang digunakan oleh rumah itu sendiri.
Pemakaian material bilik yang tipis dan lantai panggung dari papan kayu atau
palupuh tentu tidak mungkin dipakai untuk tempat perlindungan di komunitas
dengan peradaban barbar. Rumah untuk komunitas orang Sunda bukan sebagai
benteng perlindungan dari musuh manusia, tapi semata dari alam berupa hujan,
angin, terik matahari dan binatang.
Sistem Kekerabatan
Sistem keluarga dalam suku Sunda bersifat bilateral, garis
keturunan ditarik dari pihak bapak dan ibu. Dalam keluarga Sunda, bapak yang
bertindak sebagai kepala keluarga. Ikatan kekeluargaan yang kuat dan peranan
agama Islam yang sangat mempengaruhi adat istiadat mewarnai seluruh sendi kehidupan
suku Sunda. Dalam suku Sunda dikenal adanya pancakaki yaitu sebagai
istilah-istilah untuk menunjukkan hubungan kekerabatan. Dicontohkannya,
pertama, saudara yang berhubungan langsung, ke bawah, dan vertikal. Yaitu anak,
euncu (cucu), buyut (piut), bao, canggahwareng atau janggawareng, udeg-udeg,
kaitsiwur atau gantungsiwur. Kedua, saudara yang berhubungan tidak langsung dan
horizontal seperti anak paman, bibi, atau uwak, anak saudara kakek atau nenek,
anak saudara piut. Ketiga, saudara yang berhubungan tidak langsung dan langsung
serta vertikal seperti keponakan anak kakak, keponakan anak adik, dan
seterusnya. Dalam bahasa Sunda dikenal pula kosa kata sajarah dan sarsilah
(salsilah, silsilah) yang maknanya kurang lebih sama dengan kosa kata sejarah dan
silsilah dalam bahasa Indonesia. Makna sajarah adalah susun galur/garis
keturunan.
Sekian untuk tulisan kali ini, semoga bermanfaat.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar